SUARA DAERAH SRAGEN – Harapan petani Desa Jono untuk segera mendapatkan solusi konkret pasca-kunjungan Bupati tampaknya harus dikubur dalam-dalam. Di tengah ancaman gagal tanam yang ketiga kalinya, petani justru dihadapkan pada kenyataan pahit.
Ternyata anggaran untuk pertanian dari dinas terkait belum bisa menolong para petani yang terdampak. Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKPPP) Kabupaten Sragen, Eka Rini Mumpuni Titi Lestari, memberikan respons normatif terkait jeritan petani yang meminta bantuan modal atau bibit. Ia menegaskan, persoalan fisik saluran air bukanlah ranahnya, melainkan kewenangan Dinas Pekerjaan Umum (DPU).
Lebih menyakitkan lagi, Eka Rini memastikan bahwa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen tidak bisa menggelontorkan bantuan anggaran dari APBD saat ini. "Kita data dulu soal yang terdampak. Namun bantuan dari Kabupaten tidak ada karena ini akhir tahun anggaran," tegas Eka Rini saat dikonfirmasi awak media Suara Daerah Senin (8/12/2025).
Sebagai gantinya, DKPPP hanya bisa menawarkan janji administratif. Pihaknya akan melakukan inventarisasi data petani yang terdampak, khususnya yang sudah tiga kali gagal tanam untuk kemudian diajukan permohonan bantuan benih ke Pemerintah Pusat. Artinya, petani harus menunggu proses birokrasi yang entah kapan cairnya. "Kami coba minta bantuan benih ke pemerintah pusat," terangnya.
Sementara itu, di lapangan, "tembok" penghalang air di Desa Gawan dipastikan tidak akan runtuh dalam waktu dekat. Kepala Desa Gawan, Sutrisna, bersikap keras menolak membuka saluran air dari Jono sebelum pemerintah melakukan normalisasi fisik.
Sutrisna menegaskan, ia tidak mau mengambil risiko menenggelamkan wilayahnya sendiri. Menurutnya infrastruktur gorong-gorong dibuat terlebih dahulu. Jika membuka pintu air sama saja bunuh diri bagi Desa Gawan. "Lha durung dinormalisasi salurannya. Lha kalau tak buka, Gawan yang tenggelam," ujar Sutrisna.
Dia mengajukan syarat mutlak, saluran harus dinormalisasi dan gorong-gorong penghubung ke arah Gentan Banaran kecamatan Plupuh juga dibuka terlebih dahulu. Jika infrastruktur itu siap, barulah ia bersedia membuka jalur air.
Sutrisna tidak menampik bahwa sikap kerasnya ini didasari ketakutan akan dampak sosial di desanya. Jika ia nekat membuka saluran sekarang, air tidak hanya akan menggenangi sawah, tetapi berpotensi masuk ke pemukiman warga Gawan.
"Pokoke jika saluran yang ke timur dibuat gorong-gorong, baru saya buka. Daripada aku diumyek-umyek (dihakimi/diamuk) warga Gawan," pungkasnya.
Kondisi ini menciptakan situasi deadlock (jalan buntu). Petani Jono merenungi nasibnya karena gagal tanam. Salah satunya Sukardi menyampaikan saat ini sawah masih terendam. "Memang ini masalah saluran,bukan bencana alam," benernya.
Dia menekankan seandainya nanti bisa surut, petani sudah tidak bisa tanam. "Sudah Ndak ada bibit, juga biaya udah habis, terpaksa kembali miskin, harga gabah naik percuma, kalau harus di kembalikan ke sawah lagi, tanam sampai 3 kali gagal," keluhnya.
Dia berharap kalau bisa yang kena dampak genangan air itu kebutuhan petani bisa di bantu pemerintah. "Yang punya pinjaman Bank,biar ada kelonggaran bayar, termasuk saya,1/2 hektar ludes tanduran saya," ujarnya.
Jurnalis Sriwahono.


Social Header