Melawi, Kalimantan Barat – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Melawi tengah menjadi sorotan tajam setelah terungkap bahwa daerah ini memiliki utang hampir mencapai Rp147 miliar kepada pihak ketiga. Temuan ini berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI serta hasil audit Inspektorat Kabupaten Melawi.
Yang mengejutkan, alih-alih mencari solusi yang lebih transparan dan bertanggung jawab, Pemkab Melawi justru membebankan utang ini kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui pemotongan 20% dari Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) setiap bulan.
Kebijakan ini tertuang dalam Surat Edaran Bupati Melawi Nomor 900.1.1/13/BPKAD-B Tahun 2025, yang memerintahkan pemotongan TPP ASN yang diduga untuk menutupi utang daerah. Langkah ini menuai protes dari ribuan pegawai yang kini terancam kehilangan hak mereka.
ASN yang terdampak juga mengeluhkan ketidakadilan dalam kebijakan ini, terutama bagi pegawai di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dengan TPP kecil.
“Bagi kami, pegawai dengan TPP kecil, TPP adalah hal yang sangat berarti. Berbeda dengan pegawai yang memiliki jabatan, mereka mungkin masih bisa bertahan meskipun pemotongan tersebut tentu juga membuat siapa pun pasti meradang. Tapi bagi kami, ini sangat berdampak langsung pada kebutuhan kami sehari-hari,” keluh dan kekecewaan seorang ASN yang enggan disebutkan namanya.
Ia juga menyoroti bahwa utang yang hampir mencapai Rp147 miliar yang ditanggung Pemkab Melawi adalah kewajiban kepada pihak ketiga yang harus dibayarkan pada 2025, sebagaimana tertuang dalam laporan keuangan daerah. Namun, menurutnya, kebijakan Pemkab yang membebankan pembayaran ini kepada ASN tidak memiliki dasar yang kuat.
“Belanja pegawai seharusnya dikecualikan dalam efisiensi anggaran, termasuk TPP ASN. Hal ini secara jelas diatur dalam Diktum Ketiga Angka 3 Inpres RI Nomor 1 Tahun 2025 itu sendiri, yang menyatakan bahwa efisiensi anggaran tidak boleh menyentuh hak-hak pegawai. Jadi, pemotongan ini jelas melanggar aturan,” tegasnya.
Ratih (bukan nama sebenarnya), ASN lainnya, berharap kebijakan ini bisa ditinjau ulang agar lebih adil.
“Kami berharap tidak dipotong sama sekali, karena bagi pegawai kecil seperti kami, TPP itu sangat berarti,” ujarnya.
Ironisnya, di tengah krisis keuangan daerah, Pemkab Melawi justru menganggarkan Rp7,2 miliar untuk pengadaan mobil dinas bagi pejabat tinggi. Berikut daftar kendaraan yang baru diadakan:
• Bupati Melawi: Toyota Land Cruiser – Rp3 miliar
• Wakil Bupati: Toyota Fortuner – Rp1,4 miliar
• Ketua DPRD: Toyota Fortuner terbaru – Rp1,4 miliar
• Wakil Ketua DPRD: Pajero Sport terbaru – Rp1,4 miliar
• Kepala Kejaksaan Negeri Sintang: Pajero Sport terbaru – Rp700 juta
• Ketua Pengadilan Negeri Sintang: Toyota Fortuner terbaru – Rp700 juta
Langkah ini dinilai sebagai strategi politik untuk mengamankan posisi Bupati di tengah dugaan penyalahgunaan anggaran selama 2021-2024.
“Berdasarkan pantauan kami, keuangan daerah khususnya di Kabupaten Melawi benar-benar mengalami krisis, seharusnya pengeluaran untuk hal-hal mewah seperti ini dihentikan dan belanja pegawai sama sekali tidak direkomendasikan untuk dipotong dengan persentase yang tidak sedikit. Bukannya malah memperparah keadaan dengan pemotongan tersebut?” kritik Munawar, sebagai peneliti dan aktivis anti-korupsi.
Di sisi lain, kondisi infrastruktur di Kabupaten Melawi semakin memprihatinkan. Menjelang Idul Fitri 2025, banyak jalan dan jembatan utama mengalami kerusakan parah. Sementara masyarakat tetap diwajibkan membayar pajak dan retribusi, anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan malah digunakan untuk menutup utang.
Lebih parahnya lagi, Pemkab Melawi dikabarkan masih berencana menambah utang baru sebesar Rp100 - 200 miliar melalui pinjaman daerah.
“Kalau sudah gagal mengelola keuangan, jangan main-main dengan hak masyarakat. Ini menunjukkan betapa buruknya tata kelola pemerintahan di Melawi,” tambah Munawar.
Hingga kini, Bupati Melawi belum memberikan klarifikasi terkait pemotongan TPP ASN tersebut dan terkait dengan dugaan informasi adanya pengadaan mobil dinas mewah di tengah krisis keuangan daerah.
Aktivis sekaligus peneliti di bidang anti-korupsi, Munawar menekankan pentingnya investigasi mendalam oleh lembaga negara yang berwenang dalam menentukan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
“Berdasarkan hukum yang berlaku, lembaga yang memiliki kewenangan untuk menentukan adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena itu, kami mendesak agar mereka segera melakukan audit menyeluruh dan mengusut dugaan penyalahgunaan anggaran ini,” tegasnya.
Munawar menambahkan bahwa masyarakat sangat mendukung KPK RI, Kejaksaan Agung RI, serta lembaga terkait lainnya untuk menindaklanjuti dugaan korupsi yang sudah mencuat ke publik.
“Ini bukan sekadar isu pemotongan gaji ASN, tetapi menyangkut keadilan dan tata kelola keuangan daerah yang sehat. Jika terbukti ada penyimpangan, Bupati harus diberi sanksi tegas!” pungkasnya.
*Narasumber:*
H. Munawar, S.H., LL.M., M.Kn., PhD. (Ketua Tim Peneliti Kajian Strategis Hukum Pidana Khusus Badan Pengkajian dan Pengembangan Hukum Pidana Indonesia)
Editor : Nofis Husin Allahdji
Social Header