SUARA DAERAH SRAGEN – Janji manis dan kunjungan pejabat teras Kabupaten Sragen ke lokasi sengketa air di Desa Jono dan Gawan, nyatanya belum berbuah manis. Solusi jangka panjang yang ditawarkan pemerintah seolah tak menyentuh penderitaan petani hari ini. Terbukti, pada Minggu (7/12/2025) puluhan hektare sawah di Desa Jono kembali berubah menjadi rawa, sementara tetangganya di Desa Gawan tetap kering dan aman.
Langkah Bupati Sragen yang sebelumnya turun gunung memediasi konflik antar-desa, dinilai belum memberikan dampak nyata di lapangan. Air kiriman dari wilayah hulu, Desa Karangwaru, Slogo, Ketro dan sekitarnya masih mengalir deras dan terjebak di Desa Jono tanpa bisa keluar.
Sukardi, salah satu petani Desa Jono, melaporkan kondisi ironis yang terjadi di perbatasan Jono-Gawan pagi ini. Bak bumi dan langit, sisi Desa Jono terendam banjir, sementara sisi Desa Gawan terlihat normal tanpa genangan sedikitpun. "Hari ini persawahan Jono tenggelam lagi. Air dari Karangwaru dan Slogo masuk semua ke Jono dan tertampung di perbatasan. Sementara di sebelah, persawahan Desa Gawan normal-normal saja, tidak ada air. Perbatasannya seperti 'dibenteng' sama wilayah Gawan," ungkap Sukardi dengan nada kecewa, Minggu (7/12/2025).
Kondisi ini membuat petani Jono merasa "ditumbalkan" demi keamanan pangan desa tetangga. Akibat saluran pembuangan ke arah Gawan yang masih tertutup, air tidak memiliki jalan keluar menuju Bengawan Solo.
Ancaman Kelaparan dan Konflik Horizontal
Dampak dari genangan yang tak kunjung surut ini sangat fatal.
Sukardi menyebut para petani Jono sudah tiga kali mencoba menanam padi, namun tiga kali pula mereka gagal total karena benih membusuk terendam air. Ketahanan pangan keluarga petani kini di ujung tanduk.
Sebenarnya, warga Jono memiliki opsi nekat. Sukardi mengaku para petani sudah menyiapkan tanah uruk untuk membendung aliran air dari arah Karangwaru (Barat). Jika itu dilakukan, air tidak akan masuk ke Jono, namun akan menenggelamkan desa di hulunya.
"Kami menahan diri. Kalau kami bendung, potensi konflik horizontal antar-petani dua desa bisa meledak. Kami masih menghargai mediasi Bupati, tapi nyatanya kondisi lahan kami yang jadi korban," tegasnya.
Di tengah keputusasaan karena modal tanam yang ludes tiga kali, petani Jono kini hanya berharap pada bantuan sosial atau kompensasi bibit. Mereka mengetuk hati Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKPPP) Sragen untuk turun tangan menyelamatkan ekonomi warga.
"Tolong instansi terkait, terutama Dinas Pertanian, tersentuh hatinya. Kalau ada program bantuan, tolong ulurkan tangan agar ekonomi keluarga petani Jono bisa tertolong," pinta Sukardi.
Sayangnya, jeritan petani ini belum mendapat respons. Hingga berita ini diturunkan, Kepala DKPPP Sragen, Eka Rini Mumpuni Titi Lestari, memilih bungkam. Pesan singkat berisi konfirmasi mengenai solusi konkret atau bantuan darurat bagi petani Jono yang dikirimkan awak media, belum berbalas.
Lambannya respons dinas teknis ini menambah daftar panjang kekecewaan warga. Sementara Dinas Pekerjaan Umum (DPU) menjanjikan normalisasi fisik baru bisa dikerjakan Januari 2026, petani Jono butuh solusi untuk makan hari ini. Tanpa intervensi cepat, Desa Jono terancam tidak hanya gagal panen, tapi juga krisis kepercayaan terhadap Pemerintah Daerah.
Jurnalis Sriwahono


Social Header